Kekokohan Tauhid dan Ancaman Politik
Oleh Dr. Slamet Muliono Redjosari, Jetua Bidang MPK DDII Jatim
Assuaiby.com, Surabaya - Dalam sejarah peradaban Islam, para hamba yang bertauhid mengalami ancaman politik. Ancaman politik berupa tekanan untuk mengubah keyakinannya, dan mengalami paksaan untuk mengikuti agama penguasa. Apa yang dialami oleh tukang sihir di era Fir’aun menjadi penguat. Setelah mengakui kebenaran mukjizat Nabi Musa, dan mengikrarkan mempercayai Tuhan Musa, maka ancaman bunuh pun muncul. Demikian pula yang terjadi pada para pemuda dalam peristiwa “Ashabul Kahfi” yang mengalami tekanan dan ancaman bunuh ketika mereka mengungkapkan keyakinan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah.
Tukang Sihir
Tidak sedikit penguasa yang turun gelanggang untuk mengeksekusi langsung pihak-pihak yang menyuarakan tauhid. Apa yang dialami tukang sihir yang awalnya disewa Fir’aun bisa untuk menjelaskan fenomena ini. Untuk membendung dakwah tauhid yang diserukan Nabi Musa, maka Fir’aun mengumpulkan tukang sihir tersohor.
Setelah pertarungan dimulai, ternyata tukang sihir Fir’aun kenyataan pahit. Alih-alih menundukkan Nabi Musa, mereka justru sujud dan tersungkur mengikuti ajaran Nabi Musa. Mereka pun mengikuti jejak Musa dan sujud kepada Tuhannya. Mereka berbalik arah dan melawan arus yang disuarakan Fir’aun. Melihat hal itu, Fir’aun naik pitam dan mengancam akan memotong kaki dan tangannya secara silang bilamana tidak menggugurkan keyakinan barunya.
Alih-alih berubah, tukang sihir justru semakin kokoh dan siap mati sekalipun dan siap menanggung resiko terburuk. Dengan gagah berani, mereka mengungkapkan keyakinannya sudah bulat dan tidak akan berubah. Hal ini sebagaimana diabadikan Al-Qur’an sebagai berikut :
قَالُواْ لَا ضَيۡرَ ۖ إِنَّآ إِلَىٰ رَبِّنَا مُنقَلِبُونَ
Artinya:
Mereka berkata, "Tidak ada kemudaratan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, (QS. Asy-Syu`arā : 50)
Kokohnya tauhid bukan hanya melahirkan sikap tegas dalam keyakinan, tetapi juga menjadi sebab datangnya pertolongan Allah ketika keimanan itu dihadapkan pada ujian dan ancaman. Tauhid bukan sekadar pengakuan lisan bahwa tiada Tuhan selain Allah, melainkan penyerahan total jiwa dan raga kepada-Nya. Hamba yang teguh dalam tauhid tidak mudah goyah meski diguncang oleh ketakutan, tekanan, dan godaan duniawi. Dalam sejarah kenabian dan kisah orang-orang saleh, kekuatan tauhid senantiasa menjadi pembeda antara mereka yang hanya beriman secara formal dan mereka yang benar-benar hidup dalam keyakinan kepada Allah.
Apa yang dialami oleh para tukang sihir di era Fir’aun menjadi bukti betapa keimanan yang baru tumbuh sekalipun dapat mengakar kuat bila berlandaskan tauhid sejati. Mereka awalnya adalah pengabdi kekuasaan dunia, bekerja untuk menegakkan kehendak Fir’aun yang mengaku sebagai tuhan. Namun ketika mata mereka terbuka oleh mukjizat Nabi Musa, mereka menyadari bahwa kebenaran tidak mungkin bersumber dari kebatilan. Seketika itu pula mereka beriman kepada Tuhan Musa dan Harun, meskipun mereka tahu bahwa konsekuensinya adalah kematian dengan cara yang mengerikan.
Pemuda Kahfi
Hal yang sama juga dialami para pemuda “Ashabul Kahfi”. Kisah para pemuda dalam Ashabul Kahfi lebih menguatkan adanya tekanan dan ancaman politik ketika mereka bertauhid. Para pemuda hidup di tengah masyarakat yang penuh kesyirikan dan penindasan terhadap orang beriman. Ketika tekanan itu semakin berat, mereka memilih untuk meninggalkan kampung halaman demi menjaga keimanan. Keputusan itu tidak mudah karena harus meninggalkan keluarga, kenyamanan, dan masa depan duniawi.
Para pemuda beliau ketika mendapatkan tekanan dan ancaman bukannya muncur dan ciut nyalinya, tetapi justru semakin kokoh dan siap menanggung segala resiko terburuk. Kokohnya kayekinan itu mendatangkan pertolongan Allah dengan menyelamatkannya, serta menidurkannya di sebuah gua. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
وَرَبَطۡنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ إِذۡ قَامُواْ فَقَالُواْ رَبُّنَا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ لَن نَّدۡعُوَاْ مِن دُونِهِۦٓ إِلَٰهٗا ۖ لَّقَدۡ قُلۡنَآ إِذٗا شَطَطًا
Artinya:
dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri , lalu mereka pun berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran". (QS. Al-Kahfi : 14)
Dalam keheningan gua yang gelap, mereka justru merasakan cahaya pertolongan Allah. Tubuh mereka tertidur selama berabad-abad, tetapi iman mereka tetap hidup sebagai pelajaran bagi generasi setelahnya. Allah menjaga mereka dari kebinasaan, menunda kebangkitan mereka hingga zaman berbeda agar kisahnya menjadi bukti bahwa keikhlasan dalam tauhid tidak akan pernah dibiarkan sia-sia.
Kedua kisah di atas menunjukkan pola yang sama, dimana keteguhan tauhid mendatangkan ujian. Ketika ujian itu diterima dengan sabar maka akan melahirkan pertolongan ilahi. Dalam konteks kehidupan modern, ujian keimanan tidak selalu datang dalam bentuk ancaman fisik atau paksaan berhala. Ia hadir dalam bentuk godaan dunia, seperti kekuasaan, harta, popularitas, dan kemudahan yang dapat melunturkan nilai tauhid bila hati tidak waspada. Menjaga tauhid di era materialistik berarti menolak tunduk kepada selain Allah, baik kepada sistem, manusia, atau hawa nafsu yang menuhankan dirinya sendiri.
Kisah tukang sihir dan para pemuda Kahfi bukan sekadar sejarah, melainkan cermin bagi kita untuk melihat seberapa kuat tauhid yang kita miliki. Di tengah zaman yang penuh ujian nilai, pertolongan Allah tetap turun kepada mereka yang istiqamah dalam keyakinannya.
Sebab, siapa yang menegakkan tauhid dengan sepenuh hati, maka Allah akan menegakkan langkahnya dengan kekuatan yang tak terlihat.
Surabaya, 8 Oktober 2025
Admin: Sudono Syueb
0 Komentar